Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu negara wajib melindungi warga negaranya dimanapun ia berada, sebagaimana yang telah diamanahkan oleh isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia terakhir yang berbunyi “…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..” .
Hak-hak warga Negara untuk mendapatkan perlindungan merupakan hak-hak positif (Positive Right), yang dalam pengertiannya wajib dipenuhi secara aktif dan maksimal oleh Negara. Kelemahan Negara didalam memenuhi hak-hak serta melindungi warga negaranya sendiri adalah suatu kejahatan pembiaran (Violent by Ommision). Komitmen dan kemauan politik dari Negara sangat menentukan sekali dalam melaksanakan tiap-tiap kebijakan yang dikeluarkan sehubungan dengan perlindungan kewarganegaraan.
Perpanjangan tangan pemerintah Indonesia diluar wilayah Negara Indonesia adalah perwakilan-perwakilan Pemerintah Republik Indonesia, yang mana perwakilan-perwakilan tersebut memiliki kewajiban untuk memupuk persatuan dan kerukunan antara sesama warga negara Indonesia diluar negeri serta wajib memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warga Negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri. Dalam hal warga Negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu dan menghimpun mereka diwilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya Negara.
Perlindungan pemerintah terhadap warga Negara Indonesia yang mendapatkan masalah diluar negeri dinilai masih lemah. Akibat lemahnya perlindungan maka wajarlah hingga saat ini masalah yang menimpa model Manohara Odelia Pinot, kasus tewasnya mahasiswa Universitas Teknologi Nanyang, David Hartanto Widjaja serta TKI yang tewas tertimbun supermarket di Malaysia tidak tertangani dengan baik.
Tidak berdayanya KBRI di Malaysia menyelesaikan permasalahan Manohara adalah pelajaran bagi bangsa ini. KBRI yang hanya bisa melakukan tindakan-tindakan prosedural tanpa di iringi oleh tekanan-tekanan politik adalah tanda bahwa lemah dan rapuhnya bangsa ini di mata Malaysia. Jadi wajar kalaulah selama ini Malaysia selalu melakukan tindakan-tindakan yang merendahkan rasa nasionalisme kita, seperti mengklaim lagu-lagu daerah Indonesia menjadi lagu milik Malaysia, mengklaim bahwa seni reog berasal dari Malaysia, melecehkan territorial Indonesia dengan masuknya kapal perang Malaysia ke wilayah Indonesia dan yang lebih hina nya lagi membuat sebutan orang Indonesia di Malaysia dengan sebutan “Indon”.
Daftar inventaris permasalahan TKI selalu meningkat setiap tahunnya. Namun penyelesaian-penyelesaian terhadap masalah tersebut tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, dan yang pada akhirnya TKI jualah yang dirugikan karena bagaimana pun TKI tersebut tetap berada dipihak yang lemah. Hal ini disebabkan karena perlindungan yang diberikan oleh KBRI-KBRI tidak maksimal dan seefektif yang diharapkan.
Banyak kasus yang menunjukkan ketidakmampuan para diplomat Indonesia dalam memainkan fungsi diplomasinya, hendaknya mendapat perhatian bagi pemerintah, khususnya Departemen Luar Negeri. Banyak pihak yang berpendapat selain lemahnya kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris para Diplomat Indonesia tidak memiliki sense of intelegence yang memadai dalam menganalisis kasus. Kurangnya inisiatif dan inovatif dari para Diplomat untuk menangani masalah-masalah WNI. Disamping itu, para diplomat tidak memiliki media genic yang dapat merangkul dan memanfaatkan media agar dapat membantu diplomasinya.
Penunjukan beberapa pejabat perwakilan RI diluar negeri yang dilakukan atas dasar berbagai alasan sehingga tidak menciptakan “the right man on the right place”. Misalnya penunjukan dilakukan pada mantan pejabat tinggi sekedar untuk memperpanjang nafas jabatan bagi seseorang, sebagai tanda terima kasih atau bahkan untuk memperkecil sindrom pasca kekuasaan. Sedangkan aspek penting yang perlu diingat adalah apa yang harus dieksploitasi dari Negara yang dituju, termasuk peluang ekonominya sehingga calon kepala perwakilan harus dapat memiliki kreativitas untuk memanfaatkannya. Masih ada kesan pada masyarakat Indonesia di luar negeri para pejabat di perwakilan adalah raja yang harus disembah dan dilayani. Bahkan masih ada kesan bila berhubungan dengan perwakilan RI dan para diplomatnya justru membuat masalah baru.
Dengan lemahnya perlindungan WNI di Luar Negeri, merupakan suatu sinyal bahwasanya posisi tawar bangsa ini sangatlah lemah dihadapan Negara-negara luar. Untuk mengatasi hal itu semua, pemerintah yakni Departemen Luar Negeri agar bisa berbenah dengan melakukan evaluasi-evaluasi terhadap kinerjanya selama ini. Meningkatkan komunikasi politik dengan negara-negara penerima, lebih pro aktif terhadap penyelesaian-penyelesaian masalah WNI di Negara lain serta menempatkan orang-orang yang memiliki kemampuan dibidangnya di Perwakilan-perwakilanRI di luar negeri.
Kemudian, pemerintah didesak agar segera membuat rancangan perjanjian-perjanjian bilateral diantara pihak Indonesia dengan Negara-negara penerima, khususnya terhadap masalah-masalah hukum. Yang mana pengaturannya harus dilakukan melalui bentuk persetujuan dan bukan MoU seperti persetujuan ekstradisi atau bantuan hukum timbal balik, yang nantinya diratifikasi dalam bentuk Undang-undang.